Sebelum Indonesia mengenal adanya kegiatan jual-beli,
Indonesia telah lebih dulu mengenal yang namanya ‘Barter’. Apa itu barter?
- Barter adalah pertukaran barang atau jasa yang terjadi tanpa ada penggunaan mata uang dan dilakukan oleh orang zaman dulu dalam kegiatan ekonomi.
- Barter harus menguntungkan kedua belah pihak.
- Barter dilakukan oleh individu-individu, perusahaan-perusahaan, maupun negara-negara.
- Barter seringkali menjadi pilihan ketika saat inflasi tinggi atau tidak memiliki uang yang cukup.
Setelah mengetahui pengertian barter, kita akan membahas
sejarah perekonomian di Indonesia.
Sejarah perekonomi Indonesia dapat dibagi dalam empat
orde/masa:
A.
Masa Pemerintahan Orde Lama
B.
Masa Pemerintahan Orde Baru
C.
Masa Pemerintahan Transisi
D.
Masa Pemerintahan Reformasi hingga Kabinet SBY
A. PEMERINTAHAN ORDE LAMA
1950 – 1965 Indonesia dilanda
gejolak politik dalam negeri dan pembrontakan di sejumlah daerah seperti di
Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya selama pemerintahan orde lama,
keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan
laju rata-rata 7% pertahun, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata hanya
1,9% pertahun.
Pada masa pemerintahan Soekarno,
selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan
oleh kebutuhan pada saat itu untuk membiayai dua peperangan, yakni merebut
Irian Barat dan pertikaian dengan Malaysia dan Inggris.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya
perekonomian Indonesia selama
pemerintahan orde lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur
ekonomi, fisik maupun nonfisik, selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan
perang rovolusi, serta gejolah politik di dalam negeri (termasuk sejumlah
pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen ekonomi yang sangat
jelek saat itu. Dapat dimengerti bahwa
dalam kondisi politik dan social dalam negeri seperti ini, sangat sulit sekali
bagi pemeringah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
B. PEMERINTAHAN ORDE BARU
Maret 1966 Indonesia
memasuki pemerintahan orde baru. Pada
era orde baru perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi di tanah air. Pemerintah orde baru menjalin kembali
hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti
Bank Dunia dan IMF.
Sebelum rencana
pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan
stabilitas ekonomi, sosial, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam
negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut
terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi dan menghidupkan kembali
kegiatan. Usaha pemerintah tersebut
ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembanguan lima tahun (repelita) secara
bertahap. Menjelang akhir 1960, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB
dibentuk suatu kekompok konsorsium yang desebut dengan Inter-Government Group
on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai ekonomi di Indonesia
Tujuan pembangunan
ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pada orde ini
(zaman Soeharto), perekonomian di Indonesia mengalami keberhasilan.
C. PEMERINTAHAN TRANSISI
Pada tanggal 14
dan tanggal 15 Mei 1997 nilai tukar Baht Thailand terhadap dolar AS mengalami
suatu poncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan
“Jual”. Mereka mengambil sikap demikian
karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian Negara tersebut, paling
tidak untuk jangka pendek. Untuk
mempertahankan nilai tukan Bath agar tidak jatuh
terus, pemerintah Thailand
melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank
sentral Singapura. Akan tetapi, pada
hari Rabu, 2 Juli 1997, bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan bahwa nilai
tukar Baht dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya
kepada pasar.
Apa yang terjadi
di Thailand akhirnya
merembet ke Indonesia
dan beberapa Negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang
sekitar bulan Juli 1997, dari Rp.2.500 menjadi Rp.2.650 per dolas AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia
mulai tidak tabil. Menanggapi
perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 Bank Indonesia melakukan 4 kali
intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai
rupiah dalam dolar terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai
rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp.2.682 per dolar AS sebelulm akhirnya
ditutup Rp.2.655 per dolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah
terus melemah, walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai
Rp.10.550 untuk satu dolas AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januarai –
Februari, sempat menembus Rp.11.000 per dolar AS.
Sekitar bulan
September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang
perekonomian nasional. Untuk mencegah
agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa
langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp. 39 triliun dalam
upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja Negara yang sangat dipengaruhi
oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah
Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari
IMF.
Krisis rupiah ini
menjelma menjadi suatu krisis ekonomi.
D. PEMERINTAHAN REFORMASI HINGGA KABINET SBY
Awal
pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Gusdur, masyarakat umum dan investor termasuk investor asing
menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gusdur untuk
membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan
yang ada di dalam negeri warisan masa orde
baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supermasi hukum, hak azasi
manuria (HAM), penembakan tragedy Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI
di dalam politik, masalah disintegrasi dan lainnya.
Dalam hal
ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan Pendapat Nasional mulai positif,
walau tidak jauh dari 0%, tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia
jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir 5%, laju inflasi dan
tingkat suku bunga juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam
negeri sudah mulai stabil.
Namun, ketenangan
masyarakat setelah Gusdur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung
lama. Gusdur mulai menunjukkan sikap dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku
bisnis. Gusdur cenderung Diktator dan
praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang (yang
berarti pemerintahan Gusdur tidak berbeda dengan masa orde baru)
Ketidakstabilan
politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrachman
Wahid (Gusdur). Ditambah buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan
IMF membuat pelaku-pelaku bisnis termasuk investor asing, menjadi enggan
melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya kondisi perekonomian Nasional pada
masa Gusdur cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan Habibie.
Setelah presiden
Gusdur turun, Megawati menjadi
presiden yang kelima diangkat melalui Sidang Istimewa MPR, keadaan perekonomian jauh lebih buruk daripada
masa pemerintahan Gusdur.
Pada awal
pemerintahan SBY, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun negara-negara
donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat
optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik
dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto
lengser. Kabinet SBY dan lembaga-lembaga
dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar
di atas 6%.
Namun
pertengahan tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak
terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar
internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan Pendapatan
Nasional tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
Menjelang akhir
masa jabatan SBY yang akan berakhir tahun 2009, perekonomian Indonesia
menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan
kenaikan harga pangan di pasar global.
Kenaikan harga BBM yang terus-menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah
menaikkan BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat
mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi.
Pada masa pemerintahan Jokowi-JK saat ini, perekonomian Indonesia disebut dalam kondisi ‘Great Expectations.’ Kepala ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop menyebutkan bahwa salah satu hal yang membangkitkan harapan akan perekonomian Indonesia di masa depan adalah revisi anggaran pemerintah (APBN).
Revisi dimaksud
adalah dicabutnya subsidi bbm dan gas untuk kemudian dialihkan kepada
pembangunan infrastruktur dan jaminan sosial, dan jika pemerintah konsisten
menerapkan revisi anggaran dan memperbaiki eksekusi anggaran, maka perekonomian
akan tumbuh sesuai ekspektasi.
Pada akhir
laporannya, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2015
dan akan melesat naik menjadi 5,6% pada 2016. Perekonomian Indonesia di
prediksi akan terus tumbuh pada tahun-tahun yang akan datang.
Namun, pengamat
politik dan ekonomi Islam dari Universitas Indonesia, Nuim Hidayat mengatakan
bahwa laporan Bank Dunia tersebut adalah usaha untuk melenakan dan meninabobokan
bangsa Indonesia.
“Hal seperti ini
juga dilakukan lembaga-lembaga ekonomi dunia saat orde baru. Bank Dunia, IMF
bahkan IDB pernah menyebut Indonesia pada era orde baru sebagai keajaiban
ekonomi dunia. Bahkan setahun sebelum krisis moneter 1998, Bank Dunia masih
terus memuji perekonomian Indonesia.” katanya.
Sumber-sumber:
http://www.bimbie.com/sistem-barter.htm
http://sharia.co.id/2015/03/26/bank-dunia-sebut-ekonomi-indonesia-harapan-besar-pengamat-bank-dunia-menina-bobokan/
BAB 2 Sejarah Ekonomi Indonesia
Benar atau
tidaknya Bank Dunia atau Nuim Hidayat, kita sebagai warga hanya menjalankan
kewajiban kita, seperti membayar pajak dan mengkonsumsi produk dalam negeri.
Kita juga tidak tau apa yang sedang terjadi dibalik bangku pemerintahan saat ini. :D
0 komentar:
Posting Komentar